Sukarno benar-benar nekad. Suatu hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. "Mengenakan busana terbaik, bersepatu pula, Sukarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya!',tambahnya.
Sukarno menuju rumah Mien Hessels. Begitu memasuki halaman rumahnya, hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah sekali Sukarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beludru hijau. Kembang-kembang aneka warna berdiri tegak baris demi baris.
Di hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno melepas kata, “Tuan… kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak tuan….” Belum selesai Sukarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!!”
Sukarno segera angkat kaki dengan perasaan seperti dicambuk, muka dicoreng, hati terhina. Peristiwa itu, melekat sepanjang hayat.
Baca Juga: Beginilah Nasib aaRuh Manusia yang Berbuat Syirik yang
Kira-kira 23 tahun sejak peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942. Perang Dunia II tengah berkecamuk. Sukarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan bagi bangsanya.
Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalanan di Jakarta, ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Sukarno?” Berpalinglah Sukarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Sukarno.”
Wanita itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Sukarno memandangi wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya… saya tidak dapat menerka, siapakah Nyonya?” Wanita itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia terkikik lagi.
Hati Sukarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari, kini sudah berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk dan kotor….” Buru-buru Sukarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu, ia berpamitan untuk berlalu.
Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi"
(red/Kisah )