Jakarta, BPKPNEWS.COM - Popularitas TikTok sejak pandemi Covid-19 dimulai membuat Amerika Serikat (AS) menargetkan platform asal China tersebut. Pada awal tahun ini, otoritas AS melarang semua pegawai pemerintahan mengakses TikTok di lingkungan kerja.
AS menuduh TikTok membahayakan keamanan nasional. Tak cuma di Negeri Paman Sam, TikTok juga tersandung kasus keamanan hingga disinformasi di berbagai negara.
Antara lain Australia, Inggris, negara-negara Eropa, Malaysia, Kanada, Selandia Baru. Beberapa negara juga mewacanakan pemblokiran TikTok secara nasional, meski belum ada yang diketok palu hingga kini.
Di Indonesia, kasus yang menimpa TikTok terkait dengan fitur TikTok Shop yang dinilai 'membunuh' e-commerce. Selain itu, maraknya impor barang China murah via TikTok Shop juga menjadi perhatian pemerintah.
Baca Juga: REMPANG DI SEMBULANG BIKIN NKRI TERGUNCANG
Terbaru, Uni Eropa mendenda TikTok senilai US$ 345 atau sekitar Rp 5,6 triliun. Platform di bawah naungan ByteDance itu dituduh melanggar aturan privasi untuk data personal anak di bawah umur.
Dikutip dari Reuters, Selasa (19/9/2023), TikTok disebut melanggar hukum privasi Uni Eropa sepanjang periode Juli-Desember 2020. Hal ini disampaikan Komisi Proteksi Data Irlandia (DPC) dalam keterangan resminya.
Juru bicara TikTok tak setuju dengan sanksi yang diberikan. Menurut pihak TikTok, jumlah denda terlalu besar. Selain itu, kritik yang ditujukan sudah tak relevan karena indikator yang diberlakukan DPC baru efektif pada September 2021.
Baca Juga: Ini tanggapan Waketum Gerindra soal Presiden Jokowi Memiliki data Intelijen terkait arah Parpol
DPC mengatakan salah satu pelanggaran TikTok pada 2020 adalah menyetel akun anak di bawah 16 tahun untuk 'publik' secara otomatis (default). Padahal, seharusnya anak di bawah umur dilindungi privasinya.
DPC juga akan menyelidiki lebih lanjut tuduhan yang menyebut TikTok menyerahkan data personal penggunanya ke pemerintah China.
Di bawah regulasi data Uni Eropa yang berlaku sejak 2018, regulator bisa mendenda perusahaan senilai 4% dari pendapatan global mereka. Sebelumnya, DPC sudah mendenda raksasa teknologi Meta sebesar 2,5 miliar euro untuk kasus serupa.
Red/CNBC indonesia