
Foto: Republika/ Wihdan
Oleh : Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal
BPKP NEWS.COM -- Agama dan pemeluknya mestinya menyatu. Agama seharusnya memberikan directions terhadap pemeluknya di dalam menempuh perjalanan sejarah hidup umat manusia.
Dalam era post-truth banyak sekali nilai-nilai menawarkan diri untuk dijadikan referensi di dalam menyelesaikan persoalan, baik sebagai individu, keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat dalam suatu negara.
Apa jadinya sebuah masyarakat jika pertimbangan Agama tidak lagi didengarkan? Bagaimana jadinya sebuah masyarakat relijius jika nilai dan norma agamanya mengalami marginalisasi?
Masih mampukah mereka terus menjadi dirinya sendiri, atau mereka mengalami alienasi, disorientasi, hipokrit, atau bekerja di bawah standar? Jawaban ini semuanya terpulang kepada setiap individu.
Marginalisasi nilai dan norma ajaran agama tidak mesti diartikan lantaran pemerintah tidak mengakomodasi pertimbangan agama di dalam membuat dan menerapkan kebijakan. Boleh jadi karena arus kuat modernisme yang yang melanda umat manusia secara universal ikut menggerus nilai-nilai ajaran agama.
Serbuan nilai-nilai modernisme kini sudah seperti stateless values, sebuah tata-nilai yang bebas negara. Modernisme memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas geografis bangsa dan negara, merasuk ke dalam lapisa-lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat agama dan kepercayaan.